Mitrapolisi/
BANDUNG-Pemerintah sedang menyusun kebijakan tentang pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah (pemda) dalam membuat kebijakan tertentu terkait bidang-bidang yang tidak diatur jelas dalam UU.
Konon aturan ini dibuat untuk memudahkan pemda mengeksekusi kebijakan tertentu tatkala mengalami kebuntuan dalam melaksanakan pembangunan. Dalam banyak hal, pemerintah daerah tidak dapat menjalankan pembangunan karena belum disahkannya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sehingga terjadilah pembangunan berlangsung di akhir tahun.
Ketentuan istimewa yang disusun pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini selanjutnya dinamakan Hak Diskresi dan ini sedang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Dalam ketentuan istimewa ini, pemerintah daerah bisa melakukan kreativitas dalam pembangunan daerah tanpa harus menunggu persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) guna melakukan kerja-kerja pembangunan untuk rakyat.
Catatan menunjukkan sasaran Hak Diskresi kepada pemerintah daerah berada pada bidang yang sama dengan sasaran korupsi para kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bidang-bidang korupsi itu, antara lain, berupa rekayasa tender, mark up, perda upah pungut, suap dari rekanan, dan masalah perizinan.
Bidang-bidang itulah yang juga akan menjadi ruang berkreativitas pemerintah daerah dalam Hak Diskresinya. Lantas, apakah dengan diberikannya hak diskresi kebijakan-kebijakan daerah yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak mampu diimplimentasikan dengan tepat sasaran?
Realitas saat ini selama otonomi daerah diberlakukan menunjukkan pemberian keleluasaan dalam mengatur keuangan daerah sudah sangat rumit dan menimbulkan gaya-gaya korupsi baru di daerah.
Pada kurun 2004 hingga 2012, sebanyak 173 kepala daerah tersangkut korupsi. Sekitar 70 persen di antaranya sudah terbukti bersalah di pengadilan. Tentu, dengan semakin diberikannya hak diskresi kepada pemerintah daerah, ini akan kian menimbulkan lahan-lahan korupsi baru bagi para kepala daerah dan kroni-kroninya.
Apa yang terlihat dalam data menunjukkan kran kebebasan kepala daerah dalam mengelola anggaran bukan semakin memberikan jalan yang baik dalam pembangunan kepentingan hajat hidup orang banyak. Justru yang terjadi adalah anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi hajat hidup orang banyak, ditilep dan diselewengkan dengan sedemikian rupa.
Tentu, kondisi tersebut merupakan sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan tatkala kita menghendaki adanya pemberantasan korupsi. Dengan demikian, tatkala pemerintah pusat sedang menggodok untuk semakin membuka akses dalam pengelolaan anggaran secara instan dalam bentuk hak diskresi, ini memperlihatkan pemerintah pusat tidak serius dalam menegakkan pemberantasan korupsi.
Oleh: Suyidno,
Dosen di Universitas Lambung Mangkurat